Kamis, 27 Oktober 2011

Fujitsu Kembangkan Penghasil Listrik dari Panas Tubuh



Hybrid Power Generation Device (Ist.)

Jakarta - Ajang pameran teknologi CEATEC 2011 yang dihelat di Jepang, dimanfaatkan Fujitsu untuk memamerkan hasil pengembangan teknologinya yang sangat menarik, yakni Hybrid Power Generation Device.

Ini adalah perangkat yang memanfaatkan teknologi 'pemanen energi'. Idenya adalah, menggunakan chip yang ditempelkan pada kulit yang menyerap energi dari matahari dan panas tubuh si pemakainya.

Dilansir Tech Radar dan dikutip detikINET, Selasa (11/10/2011), selanjutnya chip akan memanfaatkan proses ini untuk memonitor kesehatan tubuh si pemakainya dan mengirim balik data ke sistem monitoring.

Ini adalah chip mandiri pertama dari jenisnya yang bisa memanenkan energi, baik dari cahaya maupun panas. Biasanya, dibutuhkan chip terpisah yakni sel surya dan beberapa elemen thermoelectric. Uniknya, chip yang dikembangkan Fujitsu boleh dibilang adalah perangkat hibrida yang merupakan gabungan dari keduanya.

Chip tersebut tidak dalam keadaan sedang bekerja ketika kita menggunakannya, namun Fujitsu mengatakan, temuannya itu bisa menghasilkan 700 microwatt listrik dari energi yang dipanennya dan itu artinya, tidak perlu baterai untuk membuatnya bekerja.

Ukurannya tidak besar, hanya 5cm x 5cm dan dirancang agar bisa menempel dengan tangan si penggunanya. Teknologi ini tidak cukup kuat untuk memberikan daya bagi sebuah gadget. Pasalnya, chip tersebut memang dirancang sebagai alat check up kesehatan bagi penggunanya.

Di CEATEC 2011, Fujitsu menjadi salah satu perusahaan yang mengisi celah di pasar teknologi untuk bidang kesehatan. Selain Fujitsu, operator telekomunikasi Jepang DoComo memamerkan casing smartphone yang bisa memonitor tingkat radiasi nuklir di lingkungan sekitar.





Sumber: detikinet

Selasa, 25 Oktober 2011

PLTN Fissi Thorium paling aman



PLTN dengan bahan bakar (BB) berbasis thorium makin menarik perhatian dunia apalagi bila dikaitkan dengan kecelakaan nuklir di Fukushima akhir-akhir ini. Tanggal 25 Januari 2011, beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami yang merusak PLTN Fukushima di Jepang, China mengumumkan ambisinya untuk membangun PLTN thorium dalam jangka waktu 20 tahun. China berambisi meningkatkan sumber energinya via PLTN, dan pilihannya jatuh kepada PLTN berbasis thorium, dengan jenis reaktor yang disebut oleh China dengan istilah TMSR (Thorium Molten-Salt Reactor), Reaktor Garam Cair Thorium. Seperti diketahui, Reaktor Thorium Fluorida Cair (LFTR = the Liquid Fluoride Thorium Reactor, yang disebut 'Lifter') adalah reaktor generasi IV yang menggunakan garam cair sebagai BB sekaligus sebagai pendingin reaktor. BB berbasis thorium dalam bentuk garam cair tidak memerlukan fabrikasi BB, sehingga struktur reaktor menjadi sederhana, derajad bakar (burn-up) merata, BB cair dapat diganti dengan BB segar dan diproses-ulang secara online sekaligus racun netron Xe-135 dan Kr-83 dapat dibuang secara ajeg/kontinyu. Sementara, produk fissi lainnya, misalnya molebdinum dan iodine (setelah melalui proses ekstraksi) dapat digunakan untuk keperluan medis. Akibatnya, reaktor thorium dapat terus menerus menyala sampai tua dengan derajad bakar tak terbatas.
 
PLTN berbasis thorium lebih aman, karena Th-232 harus dibombardir oleh sumber netron lambat dari luar secara kontinyu (bisa via akselerator / sinar foton / inti plutonium seperti yang dikembangkan di India) untuk mengubahnya menjadi U-233 agar dapat melakukan reaksi fissi, karena tidak mempunyai reaksi rantai, dan tidak cukup netron untuk melanjutkan reaksi fissi. Bila sumber netron disingkirkan, reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan panas (seperti di Fukushima), sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor akan meleleh dan larutan garam thorium mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah tanah yang telah disediakan, dan hal itu tidak memerlukan komputer atau pompa listrik yang bisa saja lumpuh oleh tsunami. Reaktor berbasis thorium mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Reaktor beroperasi pada tekanan atmosferik, tidak ada gas hidrogen yang dapat meledak, lebih bersih, lebih murah dengan limbah nuklir yang dihasilkan lebih sedikit.
 
Aspek menarik lain dari thorium pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses pemisahan isotop (uranium memerlukan proses ini untuk memperoleh bahan fissil U-235 dari 0,7 % menjadi 3-5 % yang menelan biaya cukup besar), dan U-233 yang diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya kontaminan U-232. Oleh karena itu, PLTN berbasis thorium dengan BB jenis garam cair cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus menghapus kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis thorium sulit membuat senjata nuklir. Sebaliknya, PLTN uranium di dunia memproduksi isotop plutonium yang bila diproses-ulang, Pu-239 dapat digunakan sebagai senjata nuklir.
Di sisi lain, thorium tersedia cukup melimpah di Indonesia (di dunia, thorium 3-4 kali lebih melimpah dibanding uranium) dan murah, karena monasit (yang mengandung thorium sekitar 0,26-14,9%) sudah ada sebagai produk samping tambang timah di Babel. Indonesia tidak perlu lagi berhubungan dengan kartel uranium yang dapat memainkan harga uranium sesuka hati. Lagi pula, limbah monasit membawa pula produk samping yang berupa logam tanah jarang (di antaranya adalah Y, La, Ce, Pr, Nd) yang harganya cukup mahal.
 
Energi yang dilepaskan oleh thorium ketika melakukan reaksi fissi cukup mengesankan. Dr. Rubbia, pemenang nobel Fisika 1984 mengatakan bahwa satu ton logam thorium menghasilkan energi setara dengan 200 ton uranium (alam) atau 3.500.000 ton batu bara. Reaktor thorium dapat mengkonsumsi limbahnya sendiri dan menggunakan Plutonium sebagai sumber netron sekaligus mengurangi jumlah plutonium yang diproduksi oleh PLTN uranium, sehingga reaktor thorium dianggap pula berfungsi sebagai pembersih lingkungan. 
 
Sesungguhnya AS sudah tahu potensi thorium yang menarik itu sejak tahun 1940an, tetapi kebutuhan senjata nuklir uranium dan plutonium pada saat itu menyebabkan teknologi uranium dan plutonium diprioritaskan lebih dulu, dan teknologi thorium yang dimilikinya disimpan dulu. Dana yang dikeluarkan oleh Amerika dan Eropa untuk mengembangkan teknologi BB nuklir uranium dan plutonium begitu besar, sehingga mereka tidak ingin melepaskan begitu saja teknologi itu untuk beralih ke thorium. Purwarupa pembiak garam molten pertama pernah dibangun di Oak Ridge (7,4 MW), AS pada tahun 1950 yang beroperasi th 1965 hingga 1969. Perusahaan Amerika, Thorium Power (sekarang Ltbridge) yang melakukan riset intensif dan bekerja pada desain nuklir berbasis thorium membuktikan bahwa BB berbasis thorium dapat digunakan di reaktor LWR dan jenis reaktor lainnya tanpa perubahan desain reaktor yang berarti.
 
India sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis thorium. Sebuah reaktor mini 30 kW dengan BB berbasis thorium telah sukses dioperasikan di reaktor Kamini di Kalpakkam, India. Kesuksesan itu mendorong India untuk memasang BB berbasis thorium pada PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1, di kota Surat, Gujarat, adalah reaktor yang pertama kali menggunakan BB berbasis thorium di dunia, dan menggunakan akselerator plutonium dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg thorium pada Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada tahun 1995. Kakrapar-1 mencapai operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi daya penuh selama 100 hari.

PLTN berbasis thorium 300 MW Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) yang diharapkan akan beroperasi tahun 2011. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239. Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan thorium pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4. 
 
Di sisi lain, reaktor garam cair thorium, LFTR menggunakan campuran garam ThF4-U233F4 yang disirkulasikan melalui teras reaktor dan penukar panas yang memanasi gas Helium sebagai media hingga 930C dan gas He tersebut diumpankan ke turbin gas dan balik ke penukar panas dalam siklus tertutup. Turbin akan menggerakkan generator listrik.
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan thorium di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.
 
India berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis thorium pada tahun 2050 nanti. Hal itu memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25% cadangan thorium dunia, yaitu 300.000-650.000 ton.
Perusahaan swasta ThEMS (Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc) bertujuan pula untuk memproduksi listrik menggunakan reaktor thorium kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke depan. ThEMS bertujuan menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh) jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris yang berkisar antara 34,5 p/kWh untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi surya. 
 
Bila Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis thorium, misalnya dengan BB jenis garam cair thorium seperti yang diadopsi China, sudah saatnya para staf/operator di reaktor riset/PLTN terlibat pula dalam penelitian bersama-sama (termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk menguasai teknologi BB thorium. Mereka juga sedang berlomba-lomba mencari angka-angka yang diperlukan dalam pengoperasian reaktor mini/riset dan PLTN dengan BB berbasis thorium.

Lihat video tentang thorium
http://www.youtube.com/watch?v=WWUeBSoEnRk&feature=player_embedded#at=106
http://m.nationalgeographic.co.id/lihat/berita/798/china-akan-bangun-pltn-paling-aman

Sumber: energibarudanterbarukan.blogspot.com